Banyaknya pengguna sosial media di Indonesia yaitu 106 juta pengguna aktif atau sekitar 40% dari penduduk Indonesia (sumber: laporan we are social Januari 2017) dimanfaatkan berbagai pihak untuk mendapatkan perhatian dan menggiring opini. Tak ayal setiap detik pengguna sosial media dibanjiri berbagai konten secara masif. Apakah informasi itu ringan seputar humor, pengalaman liburan, berita keluarga/kerabat, kondisi jalan raya sampai informasi serius mengenai ekonomi serta politik. Pengguna sosial media sendiri memiliki dua peran, sebagai produser (pembuat) konten dan sekaligus sebagai user (pengguna). Setiap orang bisa menjadi publisher. Benar atau tidaknya informasi yang diterima akhirnya sangat tergantung sikap kritis pengguna.
Seperti pada saat Pilkada DKI Jakarta 2017 yang baru saja berlangsung, magnetnya begitu menyedot perhatian semua kalangan, baik warga DKI maupun yang tinggal di luar DKI. Hampir seluruh timeline media sosial dibanjiri dengan informasi, tak peduli apakah itu berita benar atau yang berisi hasutan atau hoax. Pilkada telah berlangsung namun penyebaran hoax masih saja seperti bola salju yang bergulir. Fenomena penyebaran hoax patut mendapat perhatian masyarakat. Karena dampaknya yang menyebabkan merosotnya kemampuan analisa seseorang sehingga mudah menyinggung emosi negatif seperti rasa marah, ketakutan, kecewa dan sedih. Emosi yang dominan cenderung mendorong orang untuk merespon cepat tanpa berpikir lebih jauh.
Mengenal Hoax
Menurut Wikipedia hoax adalah berita bohong yang sengaja dibuat untuk menyamarkan kebenaran. Kesalahan dalam observasi atau membuat penilaian, rumor dan urban legend tidak termasuk hoax. Hoax sengaja dibuat untuk menipu pembaca atau pendengarnya untuk mempercayai sesuatu dan menggiring opini mereka agar mengikuti kemauan pembuat hoax.
Penyebaran hoax menggunakan pendekatan social engineering yaitu manipulasi psikologis dari seseorang dalam melakukan aksi atau menguak suatu informasi rahasia. Social engineering umumnya dilakukan melalui telepon atau internet dan yang paling mudah dilakukan melalui media sosial. Mekanisme yang dipakai seperti penggunaan judul atau foto bombastis, penggunaan akun-akun samaran dengan foto perempuan cantik atau pria dengan profil meyakinkan di sosial media mengakibatkan orang mudah percaya terhadap akun tersebut dan percaya akan berita yang disebarkannya. Lebih dari ketrampilan teknis, penyebar hoax memperhitungkan aspek psikologis dan emosional.
Hoax sangat mudah disebarkan, dengan kemajuan teknologi digital yang ada saat ini mudah pula melacak kembali pelakunya. Mereka bertujuan mempengaruhi korban, dan membuat korban melakukan tindakan atas namanya. Pelaku biasanya menipu korban untuk mengungkapkan informasi sensitif atau penting. Tindakan tersebut memiliki kesamaan dengan hoax tradisional, e-mail dan phising, atau bentuk yang lebih modernnya spear phishing.
Technical Consultant PT Prosperita – ESET Indonesia, Yudhi Kukuh mengatakan bahwa selain dipakai untuk menyebarkan hoax, social engineering merupakan salah satu metode yang sangat umum digunakan oleh peretas untuk memperoleh informasi tentang targetnya dan menyebarkan malware dengan memanfaatkan ketidaktauan atau efek prikologis target.
Untuk membantu memahami masalah ini lebih jauh, Yudhi menjabarkan beberapa hal yang harus dicermati:
- Jangan langsung percaya dengan informasi yang kita terima dari media sosial, lakukan check and re-check dengan mencari referensi dari sumber lain.
- Sebelum membagikan informasi, pikirkan dulu dampaknya bagi pembaca postingan tersebut.
- Pilah sumber bacaan Anda. Hindari artikel dari media-media yang tidak kredibel.
- Perhatikan domain yang digunakan, saat ini banyak situs yang menggunakan alamat mirip dengan situs-situs kredibel.
- Salah satu cara untuk mengecek berita adalah melalui foto yang dipakai. Upload foto tersebut di Google Chrome, secara otomatis Chrome akan memberikan opsi foto sejenis. Dari sana kita bisa mengetahui foto itu berasal dari mana dan tentang peristiwa apa.