Credit image: Freepix
Doxxing Ancaman Retribusi Digital – Dunia digital menawarkan peluang tak terbatas untuk berekspresi dan belajar, tetapi juga menjadi tempat dendam mudah dipendam, perselisihan cepat memburuk, dan intimidasi, pelecehan, serta pembalasan dendam selalu mengintai.
Seringkali, Doxxing adalah bentuk utama retribusi online yang terwujud. Praktik ini, meskipun terdengar sepele, dapat menimbulkan dampak signifikan terutama pada kesehatan mental dan keselamatan fisik.
Khususnya bagi anak-anak dan remaja. Meminimalisir peluang terjadinya doxxing menuntut perubahan perilaku online baik bagi Anda maupun anak-anak Anda.
Apa Itu Doxxing?
Doxxing (berasal dari “dropping docs” atau menjatuhkan dokumen) adalah tindakan di mana pihak ketiga yang berniat jahat sengaja mengekspos dan mempublikasikan informasi pribadi seseorang secara online tanpa persetujuan.
Informasi yang menjadi target dapat meliputi:
- Nama lengkap, alamat rumah/email.
- Detail pekerjaan atau sekolah.
- Catatan keuangan dan kesehatan.
- Informasi tentang anggota keluarga.
Motivasi di Balik Doxxing
Motivasi pelaku doxxing (doxxers) beragam, namun umumnya didorong oleh:
- Balas Dendam (Retribution): Seringkali dilakukan oleh mantan pasangan atau seseorang yang merasa dirugikan oleh korban di dunia fisik maupun digital.
- Intimidasi dan Pembungkaman: Mengekspos korban hanya untuk tujuan bullying atau membungkam mereka dari percakapan online.
- Pemerasan (Extortion): Dalam beberapa kasus, doxxers bertujuan memeras uang dari korban. Contoh ekstrem adalah ketika data pribadi anak-anak yang dicuri dari organisasi dilepaskan untuk menekan pembayaran tebusan.
- Vigilantisme (Moral High Ground): Pelaku meyakini bahwa mereka memiliki dasar moral yang benar untuk merilis catatan atau informasi rahasia yang menurut mereka menjadi kepentingan publik.
Dari Pengintaian Sederhana hingga Serangan Siber
Apapun motivasinya, serangan doxxing biasanya dimulai dengan fase pengintaian (reconnaissance) pada target untuk mengumpulkan data mentah.
1. Penggalian Media Sosial (Socmed Digging)
Pelaku akan menggali akun media sosial korban secara mendalam untuk mencari lokasi yang sering dikunjungi, detail tempat kerja/sekolah, atau informasi pribadi lainnya. Informasi ini mudah ditemukan, terutama jika profil bersifat publik atau akun memiliki pengaturan privasi yang lemah.
2. Pencarian Lintas Situs
Doxxers yang lebih canggih akan mencari nama pengguna (moniker) atau username korban di berbagai situs untuk mengumpulkan lebih banyak informasi. Mereka mungkin memanfaatkan:
- Catatan Publik: Mencari catatan pengadilan, izin pernikahan, atau catatan publik lainnya yang tersedia online.
- Basis Data WHOIS: Mengakses basis data yang menyimpan detail pribadi pendaftar situs web atau nama domain.
- Layanan Reverse Lookup: Menggunakan layanan online yang mengembalikan informasi terkait setelah pelaku memasukkan detail tertentu tentang target (misalnya, nomor telepon).
3. Eksploitasi Teknis (Cybercrime)
Bentuk pengumpulan informasi yang paling invasif hampir tidak dapat dibedakan dari cybercriminal biasa:
- Phishing/Malware: Mengirim pesan phishing untuk mengelabui korban agar mengungkapkan login atau informasi pribadi, atau menginstal malware pencuri informasi (infostealer) di perangkat korban.
- Data Bocor: Mengakses forum cybercrime untuk mendapatkan data yang berasal dari organisasi yang dibobol, atau informasi yang diambil dari serangan infostealer di masa lalu.

Mengapa Anak Menjadi Sangat Rentan
Tergantung pada motivasi dan informasi yang dipublikasikan, doxxing dapat berkisar dari gangguan ringan hingga peristiwa yang merusak secara psikologis dan emosional, terutama pada anak-anak dan remaja.
Dampak Psikologis dan Emosional
Remaja memiliki ketahanan emosional yang lebih rendah dan sangat sensitif terhadap perasaan malu dan dipermalukan. Karena banyak dari hidup mereka dihabiskan untuk bersosialisasi online, penerimaan oleh teman sebaya adalah segalanya. Doxxing dapat memperkuat dampak buruk pada:
- Menghancurkan citra diri di mata teman sebaya.
- Isolasi dan Kecemasan: Korban mungkin menarik diri dari lingkungan sosial dan menderita kecemasan berkepanjangan.
Ancaman Keamanan Fisik
Beberapa doxxers menggunakan upaya online mereka untuk mengintimidasi korban secara fisik. Pada tingkat ekstrem, terjadi serangan “Swatting”, di mana doxxers membagikan detail korban kepada penegak hukum, melaporkan ancaman bom atau teror palsu. Ini dapat menyebabkan respons polisi bersenjata yang mengerikan, berpotensi membahayakan nyawa korban.
Konsekuensi Jangka Panjang
Yang terpenting, internet memiliki memori yang panjang. Informasi pribadi yang terungkap hari ini dapat tetap online selama bertahun-tahun yang akan datang, membayangi korban hingga dewasa, yang dapat memengaruhi peluang pendidikan tinggi atau prospek pekerjaan mereka.
|
Baca juga: Mengatasi FOMO pada Anak di Era Digital |
Meminimalisir Ancaman Doxxing
Cara terbaik untuk mengurangi paparan doxxing adalah meminimalisir jumlah informasi pribadi yang dibagikan secara online.
Langkah Pencegahan Deskripsi
- Audit Pengaturan Privasi. Tinjau dan perbarui pengaturan privasi pada semua media sosial menjadi setinggi mungkin (Friends Only). Matikan fitur geolokasi (geolocation) pada kamera dan postingan.
- Filter Pertemanan. Secara rutin tinjau dan bersihkan (purge) daftar teman online. Dorong anak untuk hanya menerima orang yang mereka kenal (dan sukai) di kehidupan nyata.
- Keamanan Akun Kuat. Lindungi semua akun dengan kata sandi yang kuat dan unik (disimpan di password manager) dan Autentikasi Multi-Faktor (MFA) untuk memitigasi risiko phishing/infostealer.
- Riset Mandiri (Self-Doxing). Cari nama Anda atau anak Anda secara online. Jika Anda tidak menyukai hasilnya, pertimbangkan untuk mengirimkan permintaan penghapusan ke platform yang bersangkutan.
- Bijak Berbagi (Sharenter). Jika Anda adalah orang tua yang sering berbagi (sharenter), perhatikan baik-baik apa yang Anda posting tentang anak-anak. Jangan pernah berbagi detail pribadi, atau foto yang dapat mengidentifikasi sekolah dan lokasi mereka.
- Komunikasi Terbuka. Lakukan diskusi terbuka tentang doxxing dan bahaya berbagi informasi pribadi serta terlibat dalam perselisihan online. Anak Anda harus tahu bahwa mereka akan didukung dan didengarkan tanpa dimarahi jika mereka datang dengan pertanyaan atau kekhawatiran.
Yang Harus Dilakukan Jika Menjadi Korban Doxxing
Jika hal terburuk terjadi, tetaplah tenang, jangan membalas atau terlibat dengan doxxer, dan ikuti langkah-langkah berikut:
- Dokumentasikan Bukti: Tangkap layar (screenshot) semua postingan atau ancaman, dan di mana informasi pribadi bocor.
- Hubungi Pihak Berwenang: Segera hubungi polisi jika ada ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada Anda atau anak Anda.
- Laporkan ke Platform: Laporkan insiden tersebut ke situs media sosial terkait (karena kemungkinan besar melanggar ketentuan layanan mereka), atau kepada pemilik host/situs (jika itu adalah web statis).
- Minta Penghapusan Google: Pertimbangkan menghubungi Google dengan permintaan penghapusan, yang berarti informasi identitas pribadi yang dibagikan oleh doxxer tidak akan muncul dalam hasil pencarian.
- Amankan Akun: Jika Anda curiga akun anak Anda diretas, segera ubah kata sandi, aktifkan MFA, dan ubah pengaturan privasi ke tingkat tertinggi.
- Berikan Dukungan Emosional: Dengarkan kekhawatiran mereka dan ingatkan bahwa insiden itu bukan kesalahan mereka.
Doxxing dapat menjadi pengalaman yang sangat meresahkan, bahkan bagi remaja yang paling tangguh sekalipun. Ambil langkah proaktif hari ini, sehingga Anda berharap tidak perlu mengambil langkah darurat esok hari.
Sumber berita: